Sejarah mencatat, Belanda pertama kali mendarat di Indonesia tepatnya di Pelabuhan Banten dengan empat buah kapal yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman bersama Gerrit van Beuningen dengan seorang mualim kapal bernama Keijser pada 27 Juni 1596. Ekspedisi ini dibiayai oleh sebuah kongsi dagang Belanda yang bernama Companie van Verre (Perusahaan Jarak Jauh) yang memang khusus didirikan pada tahun 1594 untuk mencari jalur rempah-rempah di Nusantara. De Houtman sangat optimis dengan ekspedisi ini karena dia sudah mengumpulkan data pelayaran ke Nusantara melalui data dari J.H. van Linschoten ataupun mencari sendiri keterangan tambahan di Lisbon pada tahun 1592.
Tujuan Belanda ke Indonesia semula murni untuk berdagang rempah-rempah, mengambil keuntungan besar dari penjualan rempah-rempah yang sangat di butuhkan di Eropa. Namun, pada perkembangannya tujuan tersebut berubah dari yang semula berdagang menjadi memonopoli perdagangan hingga memulai masa penjanjahannya sampai + 3,5 abad kemudian.
Selain menanamkan kolonialisme, bangsa Belanda juga menanamkan budaya berbahasa di Indonesia. Sejak awal perkembangan bahasa Indonesia, bangsa Belanda telah membantu masyarakat Indonesia membangun sebuah bahasa persatuan. Bukti nyata dari pernyataan tersebut adalah adanya Ejaan Van Ophuijsen atau Ejaan Lama yang merupakan produk pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang dilakukan pertama kali oleh seorang ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Prof. Charles van Ophuijsen. Bahkan Prof. van Ophuijsen menerbitkan sebuah buku yang berjudul Maleische Spraakkunst (1910) yang menjadi panduan bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Bangsa Belanda juga menanamkan budaya bersastra di Indonesia. Contoh yang paling terkenal adalah Max Havelaar (1860) karya Multatuli. Selain itu, sastrawan Indonesia terdahulu seperti Chairil Anwar dan Merari Siregar banyak terpengaruh oleh gaya kepenulisan beberapa sastrawan Belanda.
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia mendapat pengaruh yang cukup besar dari bahasa Belanda, yaitu + 1000 kata dan + 50 istilah serapan. Daftar yang ditunjukkan di bawah merupakan sebagian dari unsur-unsur serapan tersebut.
Kata-kata Serapan
|
Belanda
|
Indonesia
|
Belanda
|
Indonesia
|
Macaroni
|
Makaroni
|
Sandaal
|
Sandal
|
Makelaar
|
Makelar
|
Egoistich
|
Egois
|
Maximaal
|
Maksimal
|
Obligatie
|
Obligasi
|
Cel
|
Sel
|
Octaaf
|
Oktaf
|
Schop
|
Sekop
|
Tactiek
|
Taktik
|
Demokratie
|
Demokrasi
|
Brandkast
|
Brankas
|
Locatie
|
Lokasi
|
Blokkade
|
Blokade
|
Biefstuk
|
Bistik
|
Controle
|
Kontrol
|
President
|
Presiden
|
Rantsoen
|
Ransum
|
Redactie
|
Redaksi
|
Asfalt
|
Aspal
|
Onderdeel
|
Onderdil
|
Irrigatie
|
Irigasi
|
Het anker
|
Jangkar
|
Ventilatie
|
Ventilasi
|
Journaal
|
Jurnal
|
Tribune
|
Tribun
|
Passief
|
Pasif
|
Zuster
|
Suster
|
Halte
|
Halte
|
Bacterie
|
Bakteri
|
Istilah Serapan
|
Tandarts
|
dokter gigi
|
Dierenarts
|
dokter hewan
|
Ziekenhuis
|
rumah sakit
|
Zelfkennis
|
tahu diri
|
Zelfmoord
|
bunuh diri
|
Bezwaar
|
Keberatan
|
Nijlpaard
|
kuda Nil
|
Ouders
|
orang tua
|
Viersprong
|
Perempatan
|
Buitengewoon
|
luar biasa
|
Zuurstof
|
zat asam
|
Zakgeld
|
uang saku
|
Haarolie
|
minyak rambut
|
Dierentuin
|
kebun binatang
|
zwarte kunst
|
ilmu hitam
|
Zeehond
|
anjing laut
|
Motorfiets
|
sepeda motor
|
Ziektehaard
|
sarang
penyakit
|
Sumber:
1. http://theateamscorner.blogspot.co.id/2015/01/pengaruh-bahasadan-sastra-belanda-pada.html
2. https://www.kompasiana.com/osakurniawanilham/l-histoire-se-repete-15-sial-de-houtman_54fff556a333118a6d50f84b
Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang biasa kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda.
Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
yaitu suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri handayani, menjadi slogan Kementrian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun edisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Sukarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan sumbangan dari
warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Perancis
pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen
voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga". Namun
kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang Belanda"
(judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913.
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh
Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis
dengan gaya demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo,
memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913).
Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu
baru berusia 24 tahun.
Berikut merupakan isi dari kutipan Als ik een Nederlander was:
"Dalam berbagai karangan di
surat-surat kabar banyak sekali dipropandakan untuk mengadakan suatu pesta
besar disini, di Hindia: pesta perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland. Penduduk
negeri ini tidak boleh lengah saja, bahwa pada bulan November yang akan datang
genaplah seratus tahun, bahwa Nederland menjadi suatu kerajaan dan tanah
Nederland menjadi suatu negara yang merdeka, sekalipun dengan begitu ia di belakang
sekali dalam barisan negara-negara.
Ditinjau dari segi yang patut
sudah sepantasnya kejadian nasional yang bersejarah itu dirayakan dengan sebuah
pesta. Bukankah itu menandakan kecintaan orang Belanda kepada tanah airnya,
tanda setianya kepada tanah yang pernah dihiasi oleh nenek-moyangnya dengan
perbuatan-perbuatan pahlawan? perayaan itu akan menggambarkan perasaan bangga
mereka , bahwa seratus tahun yang lalu Nederland berhasil melemparkan tekanan
penjajahan dari bahunya dan ia sendiri menjadi suatu bangsa yang merdeka.
Saya mudah menangkap rasa gembira
yang keluar dari hati patriot Belanda masa sekarang, yang dapat merayakan
jubileum semacam itu. Karena saya juga seorang patriot, dan seperti juga dengan
orang Belanda yang benar-benar mencintai tanah airnya, begitu pula saya cinta
pada tanah air saya, lebih dari yang dapat saya katakan.
Alangkah gembiranya, alangkah
senangnya, dapat merayakan suatu hari nasional yang begitu besar artinya. Saya
ingin, dapat kiranya sebentar menjadi seorang Belanda, bukan seorang
“Staatsblad-Nederlander”, tetapi seorang putra Nederland Besar yang tulen, sama
sekali bebas dari cacat-cacat asing. Alangkah gembiranya aku, apabila nanti di
bulan November datang hari yang sebegitu lama ditunggu-tunggu., hari perayaan
kemerdekaan. Kegembiraan hatiku akan meluap-luap melihat bendera Belanda
berkibar sesenang-senangnya dengan secarik Oranje di atasnya. Suaraku akan
parau ikut serta menyanyikan lagu “wilhelmus” dan “wien Neerlands Bloed”,
apabila nanti musik mulai berbunyi. Saya akan menjadi sombong karena segala
pernyataan itu, saya akan memuji Tuhan dalam gereja Kristen bagi segala
kebaikan-Nya, saya akan meminta, memohon ke langit yang tinggi supaya Nederland
kekal kekuasaannya, juga ditanah jajahan ini, supaya mungkin bagi kita mempertahankan
kebesaran kita dengan kekuasaan yang besar ini di belakang kita. Saya akan
meminta bantuan uang kepada semua orang Belanda di Insulinda ini, bukan saja
untuk perayaan, tetapi juga untuk biaya rencana kapal perang Clijn, yang
berusaha segiat-giatnya guna mempertahankan kemerdekaan Nederland, saya
akan……ya saya tak tahu lagi apa yang akan saya perbuat seterusnya, jika saya
seorang Belanda, karena saya akan sanggup berbuat apa saja, dugaan saya.
Tetapi tidak, sungguh tidak!
Apabila saya seorang Belanda, saya tidak akan sanggup berbuat segala-galanya.
memang saya berkehendak supaya pesta kemerdekaan yang akan datang itu
diorganisasi seluas-seluasnya, tetapi saya tidak mau kalau bumiputra negeri ini
ikut serta merayakan, saya akan melarang mereka ikut riang gembira pada
pesta-pesta itu, malahan saya ingin sekali memagari tempat-tempat keramaian
itu, supaya tak ada seorang bumiputra pun dapat melihat kegembiraan kita yang
meluap-luap pada peringatan hari kemerdekaan itu.
Di situlah terletak, menurut
saya, suatu hal yang tidak pantas, satu perbuatan yang tidak tahu malu, tidak
senonoh, apabila kita—saya masih seorang Belanda umpamanya–orang-orang
bumiputra disuruh ikut bergembira dalam merayakan kemerdekaan kita. Kita,
pertama, akan melukai perasaan kehormatan mereka, karena kita disini di atas
tanah air mereka yang kita kuasai memperingati kemerdekaan kita sendiri. Kita
sekarang beriang-riang gembira, karena seratus tahun yang lalu kita terlepas
dari kekuasaan asing; dan semuanya ini akan terjadi di bawah pandangan mereka
yang masih berdiri di bawah kekuasaan kita. Apakah kita tidak harus memikirkan,
bahwa budak-budak yang sial itu juga ingin mencapai suatu ketika, yang mereka
seperti kita sekarang dapat mengadakan suatu pesta yang serupa? Atau apakah
kita menyangka, bahwa kita dengan politik kita yang lama terus-menerus menindas
semangat yang hidup sudah membunuh segala perasaan kemanusiaan dalam jiwa
bumputera? Kalau begitu kita akan menipu diri sendiri, karena bangsa-bangsa
yang sebiadab-biadabnya pun menyumpahi tiap-tiap bentuk penjajahan. Apabila
saya seorang belanda, saya tidak akan mengadakan pesta kemerdekaan dalam suatu
negeri sedangkan kita menahan kemerdekaan bangsanya.
Sejalan dengan pendapat ini bukan
saja tidak adil melainkan juga tidak pantas apabila bumiputra disuruh
menyumbangkan uang untuk keperluan dana pesta itu. Sudahlah mereka dihina
dengan maksud mengadakan perayaan kemerdekaan Nederland itu, sekarang dompet
mereka dikosongkan pula. Itulah suatu penghinaan moril dan pemerasan uang!
Apakah yang akan dicapai dengan
pesta perayaan itu disini, di Hindia? Apabila itu maksudnya menyatakan
kegembiraan nasional maka tidak bijaksana perayaan itu diadakan disini, di
negeri yang terjajah. Orang akan menyakiti hati rakyatnya. Atau apakah dengan
itu maksudnya mempertunjukkan kebesaran dalam arti politik? Terutama dalam masa
sekarang ini, masa bangsa Hindia sedang membentuk diri sendiri dan masih berada
pada permulaan bangun tidur, adalah suatu kesalahan sikap memberi contoh kepada
bangsa itu, bagaimana kiranya ia harus merayakan kemerdekaannya. Orang menusuk
dengan cara begitu hawa nafsunya, dengan tidak sengaja dibangunkan perasaan
kemerdekaannya, harapannya akan kemerdekaan yang akan datang dengan tidak
sengaja disorakkan kepada bangsa itu: “ Kau manusia lihatlah betapa kami
merayakan kemerdekaan kami; cintailah kemerdekaan, karena senang sekali
perasaan menjadi suatu bangsa yang merdeka, bebas dari segala penjajahan.”
Apabila bulan November tahun ini
telah lewat, kaum penjajah Belanda telah membuat suatu percobaan politik yang
berbahaya. Resiko ada pada mereka. Saya tak mau memikul tanggung jawab itu,
sekalipun saya seorang Belanda.
Kalau saya sorang Belanda,
sekarang pada saat ini, saya akan memprotes tentang maksud perayaan itu. Saya
akan menulis dalam segala surat kabar bahwa itu salah, saya akan menasihati
sesama kaum penjajah, bahwa berbahaya di waktu sekarang mengadakan pesta
kemerdekaan, saya akan mendesak kepada segala orang Belanda supaya jangan
melukai perasaan bangsa Hindia Belanda yang mulai bangun dan sadar itu agar
supaya ia jangan sampai naik darah. Sungguh, saya akan memprotes dengan segala
tenaga yang ada pada saya.
Tetapi………saya ini bukan orang
Belanda, saya cuma putra negeri tropika ini yang berkulit warna sawo, seorang
bumiputra jajahan Belanda ini, dan karena itu saya tidakan akan memprotes.
Karena, kalau saya memprotes,
orang akan marah pada saya. Saya akan dipersalahkan menghasut bangsa Belanda,
yang memerintah disini di negeri saya dan menjauhkan mereka itu dari saya. Dan
itu saya tidak mau, itu tidak boleh saya perbuat. Apabila saya orang Belanda,
bukankah saya tidak mau menghina bangsa bumiputra?
Juga orang akan menuduh saya
kurang ajar terhadap Sri Ratu, raja kita yang dihormati, dan itu tidak dapat
diampuni, sebab saya rakyatnya yang selalu harus setia kepada beliau.
Dan karena itu saya tidak
memprotes!
Sebaliknya, saya akan ikut
merayakan.
Apabila nanti diadakan pemungutan
biaya, saya akan memberi sumbangan, sekalipun karena itu saya akan mengurangi
belanja rumah tangga sampai separo. Kewajiban saya sebagai seorang bumiputra
jajahan Belanda ini, ialah untuk ikut serta menyemarakkan hari kemerdekaan
Nederland, negeri tuan kita. Saya akan meminta kepada oorang-orang sebangsa
saya, orang-orang sesama rakyat kerajaan Nederland, untuk ikut serta dalam
pesta itu, sebab sekalipun pesta ini semata-mata berarti bagi Nederland, kita
akan mendapat di situ kesempatan yang sebaik-baiknya untuk menyatakan kesetiaan
kita dan kehormatan kita kepada Nederland. Dengan begitu kita akan mengadakan “demonstrasi
kesetiaan.” Syukurlah, saya bukan seorang Belanda.
Sekarang, lepas dari segala
ironi.
Seperti telah saya katakan pada
permulaan karangan ini, perayaan 100 tahun kemerdekaan Nederland tersebut
menunjukkan besarnya kesetiaan kepada tanah air, dalam hal ini dari pihak orang
Belanda. Bolehlah mereka gembira pada perayaan nasional mereka itu. Yang
menjadi keberatan bagi saya dan banyak lagi orang yang setanah air dengan saya
ialah terutama bahwa sekarang bumiputra lagi yang akan membayar bagi suatu hal
yang bukan hal mereka. Apakah yang akan dibawakan oleh pesta yang kami ikuti
menyelenggarakan? Tidak sedikit juga, kecuali peringatan bagi kami, bahwa kami
bukan suatu bangsa yang merdeka dan bahwa “Nederland tidak akan menganugerahi
kami dengan kemerdekaan”– pendek kata tidak selama Tuan Idenburg menjadi
walinegara, dan lagi–ganjil benar–ajaran yang kita peroleh dari pesta-pesta
itu, bahwa merupakan kewajiban bagi tiap-tiap orang untuk mewakili bangsanya
sebaik-baiknya pada hari perayaan kemerdekaan.
Saya pun lebih setuju dengan
pendapat yang baru-baru ini untuk pertama kali dibentangkan dalam surat kabar
bumiputra “Kaoem Moeda” dan dalam “ De Express” untuk membentuk di Bandung,
tempat datangnya bermula cita-cita mengadakan perayaan dan tempat duduk pusat
komite, suatu komisi terdiri dari beberapa orang bumiputra yang terpelajar;
pada hari perayaan itu badan tersebut akan mengirimkan kawat ucapan selamat
kepada Ratu, yang di dalamnya juga dianjurkan mencabut pasal 111 R.R dan segera
mengadakan suatu Parlemen Hindia.
Hasil dari permohonan itu–apalagi
bagian yang kemudian–saya tidak perbincangkan disini; artinya itu saja sudah
merupakan suatu nilai yang besar bagi kita. Bukankahh permintaan itu saja sudah
mengandung suatu proses, bahwa kita tidak diberi hak dan tetap tidak
diperkenankan untuk membicarakan hal-hal politik, bahwa dengan perkataan lain
kita dalam daerah ini tidak diberi kebebasan sama sekali? Suatu bangsa yang
cinta merdeka seperti bangsa Belanda yang sekarang akan merayakan
kemerdekaannya, tentu akan mengabulkan permintaan itu.
Tentang mengadakan parlemen, di
situ tersimpul sejelas-jelasnya keinginan yang besar untuk tidak boleh tidak
ikut serta mengeluarkan suara. Itu sangat perlu. Dimana ternyata
sejelas-jelasnya dari cara bangunanya bangsa Hindia, bahwa emansipasi–proses
kemerdekaan– itu cepat sekali jalannya, disitu dapat dipikirkan kemungkinan
bahwa bangsa ini, yang sekarang terjajah, suatu masa akan lebih besar dari
tuannya. Bagaimana nanti, apabila 40 juta manusia yang benar-benar bangun menuntut
pertanggungjawaban kepada seratus orang yang duduk dalam De tweede kamer yang
disebut Dewan Perwakilan Rakyat? Apakah orang pada akhirnya akan menyerah,
kalau krisis sudah ada?
Rasanya janggal terdengar, bahwa
komite tersebut akan meminta suatu parlemen. Selagi pemerintah hanya
perlahan-lahan bekerja untuk mengadakan suatu perwakilan kolonial, di mana
paling bagus beberapa orang saja diangkat oleh pemerintah sebagai apa yang
dikatakan wakil kita di dalam apa yang disebut koloniale raad itu–lihat misalnya
gemeenteraden–disana datang komite berlari-lari kencang dengan suatu usul yang
hebat, tidak lebih dan tidak kurang suatu Parlemen Hindia.
Tampaknya maksud komite hanya
memajukan protes di dalam suatu permintaan yang sekarang tidak dapat
diperkenankan, dan tidak mengharapkan hasilnya. Ajaib memang adanya, bahwa
tepat pada hari orang Belanda merayakan kemerdekaannya, komite datang kepada
Ratu dengan permohonan untuk melenyapkan kekuasaan absolut Belanda atas suatu
bangsa yang 40 juta orang jumlahnya.
Lihatlah, sekarang sudah, betapa
pengaruh cita-cita perayaan itu.
Tidak, sekali-kali tidak, kalau
saya seorang Belanda, saya tidak akan merayakan jubileum seperti itu disini
dalam suatu negeri yang kita jajah. Beri dahulu bangsa yang terjajah itu
kemerdekaannya, barulah merayakan kemerdekaan itu sendiri."
Sumber:
1. http://www.berdikarionline.com/kalau-saya-seorang-belanda-als-ik-eens-nederlander-was/
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
3. https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwi3ur-egKPZAhWCxrwKHV5iAsMQjRx6BAgAEAY&url=https%3A%2F%2Fbonerustan.wordpress.com%2F2014%2F04%2F22%2F3-prinsip-kepemimpinan-menurut-ki-hajar-dewantara%2F&psig=AOvVaw3rotrZ6xXJZMIckhf_-QA-&ust=1518615028747902